Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |



Geliat Nelayan Muara Angke

Kawasan Muara Angke lebih mirip sebuah pulau yang terletak di mulut muara Kali Angke sehingga terpisah dari daratan Jakarta . Kehidupan para warganya sebagai nelayan yang tiap hari bergelut dengan ganasnya debur ombak menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang keras. Pergumulan mereka untuk bertahan dari kerasnya gelombang samudera dan panasnya udara pesisir Muara Angke adalah sebuah episode kehidupan yang tak ada habisnya untuk digali.

Aroma hujan masih belum menguap dari lapisan tanah Muara Angke. Melelehkan sisa-sisa ikan dan sampah yang telah mengerak. Bau amis setengah busuk tanpa ampun menerjang indera penciuman setiap orang yang berlalu-lalang. Di ujung daratan Muara Angke, tepatnya di Kampung Neas, datangnya hujan berarti lain bagi Ipah. Datangnya hujan berarti perginya rezeki hari itu. Hujan yang turun pagi hari itu menjadikan suaminya, Khalil, tak bisa melaut mencari kerang. Ketika Dunia Tzu Chi menyambanginya, memang sang suami telah pergi melaut, namun ibu tiga anak ini mengatakan biasanya jika hujan seperti itu, sang suami akan segera pulang kembali. Hujan tidak memungkinkan Khalil serta nelayan-nelayan tradisional lain untuk melaut. Terlalu beresiko. Apalagi ia hanya menggunakan perahu kayu tradisional kecil yang sangat rentan dihantam gelombang yang biasanya berubah ganas bila hujan turun.

Secara umum, ada dua jenis perahu yang biasa digunakan nelayan Muara Angke, yaitu kapal besar dan kapal kecil. Kapal besar biasanya membawa sekitar 8 awak kapal. Mengarungi laut hingga mencapai satu bulan, kadang lebih. Kapal-kapal besar ini berlabuh di dermaga pelabuhan Muara Angke. Kapal kecil biasanya membawa sekitar 2-3 awak kapal. Mengarungi laut sekitar satu minggu. Kapal-kapal ini berlabuh di dermaga tradisional di Kali Adem, tidak jauh dari pelabuhan Muara Angke. Kebanyakan mengumpulkan kerang hijau.

 

Rezeki di Balik Cangkang Kerang

 

Jarum jam menunjuk pada angka 10, Ipah baru saja bangun dari tidur singkatnya dan mulai melakukan aktivitas rutinnya, yaitu mengupas kerang. Kantung matanya tebal dan kehitaman karena setiap hari ia hanya tidur sekitar empat jam. Empat tungku kayu di depan gubuk kayunya masing-masing sedang merebus drum berdiameter setengah meter yang berisi kerang. Itulah hasil kerja keras suaminya selama seminggu di perahu, mengorbankan hari-hari bersama anak dan istri.

Di Kampung Neas, di pinggir Kali Adem, tepatnya di Kampung Empang, lebih banyak lagi drum-drum perebus kerang yang mengepul. Wajah Mursyid, penjaga tungku, menahan pijaran tungku perebus. Garis wajahnya sangat kentara dan seperti bergurat-gurat karena setiap hari menahan pijar tungku. Dalam sehari, ia dan dua rekannya, bisa merebus hingga 300 drum. Itu artinya, uang sekitar Rp 35.000,-, ia kantongi setiap hari. Beberapa wanita dengan menunggui bayinya yang ditidurkan di ayunan hingga anak-anak yang semestinya berada di bangku sekolah, dengan asyiknya mengupas kerang-kerang yang cangkangnya telah mudah dibuka. Di dekatnya, perahu-perahu kecil bersandar di dermaga tradisional menurunkan kerang. Menurut Mursyid, pusat pengupasan kerang tersebut buka sejak pukul enam pagi hingga pukul sembilan malam. Bekerja selama dan seberat itu tidak menjadikannya mengeluh. Justru badannya akan merasa pegal-pegal jika ia menganggur.

Sementara di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) yang terletak di samping kiri dan kanan Perumahan Cinta Kasih, daging-daging ikan menyusut sebanyak 40% karena terpanggang matahari. Papan-papan penjemur ikan sederhana berjejer rapi dan mengepulkan bau amis. Nelayan tak peduli teriknya mentari, mereka membolak-balik ikan sambil sesekali membersihkan sampah yang menempel pada dagingnya.

Sore menjelang, Ipah pergi menuju ke pusat grosir Muara Angke untuk menjual kerang yang telah dikupas. Kerangnya berwarna kemerahan, sungguh mengundang selera. Tapi sayang, warna tersebut bukan warna alami, melainkan karena pengaruh zat pewarna. “Kalau tidak diwarnai tidak laku,” ujar Ipah. Di pusat grosir, ia harus menyewa lampu petromak, lahan untuk berdagang, membayar uang kebersihan, uang keamanan, dan air bersih. Ia menjual kerangnya seharga Rp 2.000,- hingga Rp 2.500,- per kilo. Subuh ia baru kembali ke gubuk kayunya dengan mengantongi uang sekitar Rp 20.000,- hingga Rp 30.000,- jika sedang beruntung. Jika sedang tidak beruntung, kadang ia hanya membawa pulang rasa lelah dan kantuk.

Sejak pukul 4 sore, pusat grosir mulai dipenuhi penjual ikan yang membongkar jualannya. Pusat grosir menempati sebuah gedung yang menyerupai aula tanpa dinding. Ketika memasuki pasar grosir di kawasan pelabuhan, banjir setengah lutut telah menanti. Banjir adalah pemandangan yang biasa di Muara Angke, apalagi ketika purnama. Indahnya purnama justru membawa derita bagi warga Muara Angke. Purnama datang selalu diiringi dengan air pasang. Maka, terendamlah sebagian kawasan pelabuhan. Jika beberapa tahun lalu air pasang terjadi jika purnama datang, kini air pasang bisa datang kapan saja. Hari biasa pun, air pasang kadang juga datang. Jika dulu para nelayan dan petugas pelabuhan bisa melakukan langkah antisipasi untuk menghadapi air pasang, kini mereka tak bisa lagi melakukannya. Setiap saat mereka bisa direpotkan oleh air pasang. Tahun-tahun belakangan ini, air pasang tidak bisa diprediksi secara matematis.

Lorong pasar grosir juga digenangi air setinggi mata kaki. Penjual dan pembeli silih berganti berpapasan di lorong yang hanya selebar setengah meter dengan tergesa-gesa sambil mendorong troli berisi ikan ataupun hasil-hasil laut lain. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa, sehingga ketika berpapasan dengan mereka, Dunia Tzu Chi harus benar-benar waspada jangan sampai Nikon D70 yang ada di genggaman meluncur ke genangan air karena tersenggol. Kejadian ini berulang beberapa kali. Ganasnya laut telah membentuk mereka menjadi manusia yang keras.

Menurut Kholik, staf Dinas Perikanan dan Kelautan Muara Angke, ada sekitar 8.500 hingga 10.000 nelayan yang menyandarkan hidupnya di Muara Angke, termasuk mereka yang berjualan di pasar grosir. Sebagian besar berasal dari daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu Indramayu, Tegal, dan Brebes, serta sebagian kecil dari Makassar , Sulawesi Selatan.

Ikan yang dijual di tempat ini tidak hanya didatangkan dari Teluk Jakarta sendiri (Muara Angke, Muara Kamal, Muara Baru), melainkan juga dari Kepulauan Seribu dan berbagai daerah lainnya seperti Serang, Indramayu, Karawang, Tangerang, Ujungpandang, Pontianak, Bangka, dan Lampung. Jika cuaca normal, rata-rata ikan yang dilelang per bulan mencapai 30-40 ton.

 

Pelelangan Muara Angke

Kawasan Muara Angke lebih mirip pulau yang terletak di mulut muara Sungai Angke, di ujung utara Jakarta , sehingga terpisah dari daratan Jakarta . Kawasan Muara Angke terdiri dari 4 zona, yaitu zona pelabuhan, zona Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT), zona tambak, dan zona pemukiman. Kawasan Muara Angke mulai beroperasi sejak tanggal 7 Juli 1977 yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin.

Kian hari, Muara Angke bukannya berkembang menjadi kawasan pelabuhan yang modern, tapi justru semakin tak tertata. Bau dan sampah adalah hal yang sangat mudah ditemukan di sana . Sulit untuk betah berlama-lama berada di kawasan tersebut. Ketika Dunia Tzu Chi berkunjung ke sana , jendela mobil baru saja dibuka beberapa senti, bau amis setengah busuk langsung menyergap. Tak perlu menunggu terlalu lama, seluruh badan telah terasuki bau tak sedap. Baju pun langsung lepek, apalagi terik mentari sangat kejam menyengat kulit.

Kondisi memprihatinkan semakin kentara terlihat ketika kita memasuki pemukiman mereka di kampung nelayan dan Kampung Neas. Di Kampung Neas, di mana rumah-rumah penduduk berdiri di atas rawa keruh kehitaman, jalan-jalan setapaknya merupakan rawa yang diuruk dengan cangkang-cangkang kerang. Harus memakai alas kaki yang tebal agar tidak tergores tajamnya cangkang kerang ketika melintas di atasnya.

Masalah pelik lain yang dihadapi Muara Angke adalah sampah. Setiap hari warga Muara Angke membebani bumi dengan sampah sebanyak 30 meter kubik, sedangkan mobil-mobil sampah yang tersedia hanya mampu mengangkut sebanyak 12 meter kubik. Lalu sisanya kemana? Sampah-sampah tersebut dionggokkan begitu saja di tanah-tanah kosong di sembarang tempat atau dibuang ke sungai atau laut. Tak mengherankan jika banjir begitu mudah terjadi karena sampah menyumbat hampir semua drainase.

Hadirnya Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di tengah-tengah kehidupan mereka menjadi suatu oase yang terasa sangat menonjol. Di tengah-tengah kesemrawutan Muara Angke, berdiri sebuah komplek rumah susun yang rapi dan bersih. Seakan menggambarkan bahwa di antara ketidakteraturan pun, cinta kasih masih bisa bersemi dan memberikan penerangan. • Sutar/Anand

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id